JAWABAN BAGI ORANG-ORANG YG MENGATAKAN: PANCASILA TIDAK BERTENTANGAN DENGAN ALQURAN DAN SYARIAT ISLAM

Posted: Juli 20, 2011 in Kajian Tauhid

Berbagai tokoh yang mengaku dari “partai Islam” selalu mengatakan bahwa Islam tidaklah berlawanan dengan Demokrasi ataupun Pancasila. Benarkah perkataan mereka, ataukah ini hanyalah kemunafikan mereka untuk menjadikan Demokrasi sebagai alat sementara untuk mewujudkan Kekuasaan meraka yang nyata nyata “kerabat” Amerika Serikat?

Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti hukum/pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dalam UUD 1945, konsep demokrasi tertuang dalam pasal 1 ayat 2, yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.

Ayat diatas dapat dijabarkan bahwa dalam demokrasi kekuasaan tertinggi adalah di tangan rakyat, di mana kedaulatan tersebut dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar sebagai Sumber Hukum tertinggi dibawah Pancasila. Pasal 3 ayat 1 UUD 1945 juga menyebutkan bahwa “Undang Undang Dasar sebagai Konstitusi Hukum tertinggi ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai manifestasi dari rakyat”.

Hal diatas sangat bertentangan dengan Al Quran karena di dalam Syariat Islam, hukum hanyalah milik Allah dan rakyat tidak berhak menetapkan hukum / Undang Undang.

“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (Qs Yusuf: 40)

”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Qs Al-Maaidah: 49).

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs An-Nisaa: 59)

Jadi jika berdasar Syariat Islam, maka pasal 1 ayat 2 UUD 1945 seharusnya berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan Allah dan dilaksanakan menurut Al Quran dan Sunnah RasulNya”.

Lalu bagaimana jika ternyata hukum yang dibuat Allah dan diperjelas dengan Sunnah Rasul Muhammad (Quran dan Sunnah) tidak dapat mengcover seluruh detail aturan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan manusia? Karena itulah dilakukan Musyawarah / Syura.

Para pembela Islam munafik seringkali mengatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, karena Islam juga mengajarkan musyawarah / syura. Atau dengan kata lain Syura = Demokrasi.

Anggapan ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat perbedaan yang amat mendasar, yang menjadikan keduanya sangatlah bertentangan. Untuk memahami hal ini secara benar, kita harus mengetahui bagaimanakah prinsip2 Syura berdasarkan Syariat Islam:

Prinsip Syura Pertama:

Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa tujuan musyawarah ialah untuk mencapai keputusan yang ternyata tidak tercakup dalam Al Quran ataupun As Sunnah, hal ini berdasarkan Quran;

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

Syura didalam Islam jarang terjadi dan hanya dilakukan dalam beberapa urusan yang musykil (sukar diputuskan atau dipahami). Sedangkan untuk persoalan yang telah ada ketetapan dari Allah dan Rasul Muhammad, maka tidak diadakan Syura. Hal ini bertentangan dengan demokrasi, dimana musyawarah mufakat diletakkan sebagai jalan utama untuk menyelesaikan suatu persoalan. Permusyawaratan rakyatlah yang berkuasa untuk mengatur permasalahan berdasarkan undang-undang yang telah dibuat.

Prinsip Syura Kedua:

Kebenaran tidak ditentukan oleh mayoritas suara terbanyak

Dalam demokrasi, jika kata mufakat tidak tercapai, jalan keluar terakhir adalah dengan pemungutan suara terbanyak. Hal ini bertentangan dengan Quran;

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am 116)

Ibnu Katsir berkata dalam Kitab Tafsir-nya tentang ayat ini :

Allah memberitahukan tentang keadaan penduduk bumi dari kalangan Bani Adam bahwa kebanyakan mereka dalam kesesatan. Seperti itu juga Allah berfirman :

‘Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang dahulu.’ (QS. Ash Shaffat : 71)

Begitu pula firman Allah :

‘Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.’ (QS. Yusuf : 103)

Mereka dalam kesesatan tanpa keyakinan namun hanya sekadar persangkaan dusta dan perkiraan yang bathil belaka.

‘Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).’” (QS. Al An’am : 116)

Artinya suara mayoritas belum tentu menunjukkan kebenaran, dan sebaliknya, suara minoritas belum tentu suara yang salah.

“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al Baqarah : 243)

“Tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari(nya).” (QS Al Isra’ : 89)

“Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (QS. Al Ghafir : 59)

“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf : 103)

Dan masih banyak ayat2 dalam Quran yang serupa dengan ayat2 diatas.

Prinsip Syura Ketiga:

Yang berhak menjadi anggota Majelis Permusyawaratan ialah para pemuka masyarakat, ulama dan pakar di setiap bidang keilmuan yang ditunjuk oleh Khalifah.

Berdasarkan Syariat Islam yang berhak menjadi anggota Majelis Syura hanyalah ahlul hilli wal aqdi, yaitu para ulama dan pewaris para Nabi, atau mereka yang ditunjuk oleh Khalifah. Anggota Majelis Permusyawaratan / Syura tidak boleh berasal dari kalangan kafir / diluar Islam, dan juga tidak boleh seorang wanita.

Sedangkan dalam demokrasi, anggota Majelis Permusyawaratan dipilih oleh rakyat, rakyatlah yang menentukan para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat, siapapun dia, berhak dipilih untuk menjadi anggota Majelis Syura sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, meskipun ia wanita ataupun seorang kafir (Kristen, Hindu, Budha, ataupun agama lain diluar Islam).

Jelaslah apa perbedaan Syura dalam Islam dengan Demokrasi. Jika terdapat orang atau partai yang menyatakan bahwa demokrasi dalam Islam adalah sistem syura / musyawarah, bukan sitem demokrasi ala Yunani, sehingga ini hanya sebatas penamaan, hal tersebut adalah kemunafikan yang amat sangat. Pertama: Istilah demokrasi adalah istilah yang muhdats (hasil rekayasa manusia) maka tidak layak dan tidak dibenarkan menggunakan istilah2 semacam ini dalam Islam.

Kedua: Penggunaan istilah ini merupakan praktek menyerupai (tasyabbuh) dengan orang2 kafir (khususnya Yunani, bangsa asal demokrasi), dan Islam telah mengharamkan umatnya untuk berbuat menyerupai orang2 kafir dalam hal2 yang merupakan ciri khas mereka. Muhammad pernah berkata:

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka.” (Hadis Abu Dawud)

Keseluruhan uraian diatas dengan jelas menunjukkan bahwa syariat islam berbeda dengan konsep demokrasi. karena demokrasi adalah bagian dari pancasila (sila 4), maka secara otomatis islam juga anti pancasila.

Lalu mengapa banyak partai yang mengaku mewakili Islam masih menggunakan Pancasila sebagai ideologi partainya dan juga tetap ikut pemilu yang merupakan pesta demokrasi? Layakkah kita menyebut partai2 ini dengan istilah Partai Kemunafikan Sejati?

Saudaraku, mana yang anda pilih? Hidup di bawah naungan Pancasila atau di bawah naungan Islam?

* Semboyan kita bukanlah Bhinneka Tunggal Ika, tetapi Laa Ilaaha Illallah Muhammadurrasulullah.
* Dasar negara kita seharusnya bukanlah Pancasila dan UUD 1945, tetapi Al Quran dan As Sunnah.
* Kita tidak mengenal Nasionalisme dan Patriotisme, yang kita kenal adalah Jihad Fi Sabilillaah dan Ukhuwah Islamiyah.
* Kita cinta kepada Tanah Air, tetapi lebih cinta lagi kepada Islam, Kita setia kepada Negara, tetapi lebih setia lagi kepada Agama.
* Kita taat kepada Pemerintah, tetapi lebih taat lagi kepada Allah dan Rasulullah.
* Demokrasi adalah Berhala yang sesat dan menyesatkan
* Pemikiran Pluralisme adalah Kesesatan.
* Sekulerisme adalah Ajaran Iblis dan Setan.
* Saudara-Saudara kita adalah umat islam di belahan bumi manapun mereka berada.
* Musuh-musuh kita adalah orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasulnya
* Ridha Allah adalah tujuan kita Rasulullah adalah panutan kita Al Quran dan As sunnah adalah undang-undang kita.
* Jihad adalah jalan kita.
* Syahid di jalan Allah adalah cita- cita tertinggi kita.

* Sungguh mengherankan jika kita melihat dialog-dialog di TV dimana mereka begitu mengagung- agungkan undang-undang buatan manusia, sehingga jika ada perbuatan yg bertentangan dgn undang-undang mereka langsung bilang : INKONSTITUSIONAL. Tapi jika ada perbuatan yang bertentangan dengan Al quran dan sunnah mereka diam seribu bahasa dan sama sekali gak protes, bahkan mungkin bilang “agama adalah urusan individu, negara gak perlu campur tangan”. Tentu kita gak tau apa isi hati mereka, masihkah tersisa iman di hati mereka?Ataukah sebenarnya mereka orang-orang munafik dan kafir?
* Orang-orang sesat itu begitu mensakralkan Pancasila dan Konstitusi, tapi menginjak-injak Alquran dan Sunnah.
* Mereka membuang ajaran islam kebelakang punggung mereka dan menjunjung tinggi sampah-sampah pemikiran yang bertentangan dengan ajaran islam.
* Lantas apa gunanya mengaku beragama islam ?!! Jangan-jangan agama mereka bukan agama Islam? Dan kitab suci mereka bukan Alquran? Paling tidak, mereka termasuk Mujahirun, yaitu orang yg berbuat dosa secara terang-terangan, bahkan menyebarluaskan kesesatan/dosa mereka secara terang-terangan ke tengah masyarakat.
* Mereka adalah setan dalam jasad manusia, dengan mulutnya mereka mengajak manusia ke neraka. Padahal agar dosa mudah diampuni seharusnya perbuatan dosa itu harus disembunyikan dan jangan sampai ketahuan manusia, sebagai wujud malu kepada Allah, tetapi para penyeru sekulerisme dan pluralisme itu malah menyerukan kesesatan mereka melalui berbagai media massa tanpa malu-malu lagi.
* “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya [tidak mengamalkan isinya] adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat- ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” {QS Al Jumu’ah : 62}
* Orang-orang yang mendukung sekulerisme dan menolak penerapan syariat islam adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal, karena meskipun mereka mengetahuii Al Quran dan As Sunnah tetapi mereka enggan menerapkannya di negara ini dan malah mencampakkan syariat islam serta mendukung sekulerisme.
* “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” {QS. Al-Maaidah : 50}
* jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Tinggalkan komentar